26.9.14

Demokrasi Abal-abal ...

celoteh "Demokrasi Abal-abal ...", selengkapnya di http://timpakul.web.id/?p=3611 .

Kemenangan bagi abalism terhadap sistem penentuan kepala wilayah negeri ini. Lalu kemudian, semakin jelas diungkapkan dari wawancara ke wawancara, bahwa bermain uang dalam memilih kepala wilayah itu nyata. Tak lagi ada kemaluan para penjahat politik mengungkapkannya, “biarlah cuma anggota dewan saja yang terimbas politik kotor, warga tak usah”.

Keinginan untuk berkuasa, lalu memperkaya diri sendiri dan sedikit untuk kelompoknya, masih menjadi model hari ini. Belum ada sebuah keinginan untuk berbagi. Dan semakin sukar untuk menemukan Brahmana baru. Mereka yang semakin menua, rambut memutih, kulit mengeriput, tak rela kursi empuknya yang sudah terkoyak, diduduki oleh yang lebih muda. Kekuasaan itu, seolah membangkitkan sebuah senyuman, yang pastinya lebih palsu.

Pun dalam beragam organisasi. Seolah menegakkan demokrasi. One man one vote. Suara pemilih adalah suara yang harus dihargai. Namun juga tak lebih dari sekedar untuk meraup kepingemas. Hingga tinggal mereka yang disorongkan lunglai di pojok ruang. Sambil membayangkan seberapa dalam kantong bakal dikuras. Demi dentingan yang tak lagi terdengar harmoninya.

Demokrasi abal-abal… Segala sisi berlomba untuk memuaskan dirinya sendiri. Onani… Orgasme… Lalu menorehkan senyum kepuasan karena kilatan lampu dan tampilan wajah di layar kaca menjadikan kerabat berlomba memperbincangkannya. Seolah telah menjadi benar jalan yang dilalui. Ini titik terendah pergerakan. Hanya bergerak-gerak, dalam karung plastik penuh dengan belatung kehidupan.

Politik itu adalah politik. Intimidasi itu menjadi biasa. Kekerasan menjadi iring-iringan yang tak lelah mengikuti. Siapa yang mampu mengikatkan tali pada leher-leher yang seolah setia, dengan kepingemas tentunya, adalah yang akan memperoleh kekuasaan sesaat. Hingga kemudian, korupsi menjadi sebuah prestasi. Jeruji penjara pun bukanlah sebuah pemberi ketakutan. Hanya keranda yang mampu menghentikannya.

Demokrasi abal-abal… Perlombaan yang abal-abal… Teruslah berkicau atas nama keadilan.. atas nama konstitusi… atas nama warga… yang tak pernah memberikan mandat agar pikirnya diwakilkan… Abalism, sebuah keabadian.



Artikel ini dapat dikutip ataupun diperbanyak dengan tetap menyebutkan sumbernya :


Ade Fadli. 2014. Demokrasi Abal-abal …. http://timpakul.web.id/?p=3611 (dikutip tanggal 26 September 2014)



-- timpakul.web.id - @timpakul





    

3.9.14

ini rahasia !

celoteh "ini rahasia !", selengkapnya di http://timpakul.web.id/?p=3598 .

ini cukup di ruangan ini aja ya“, begitu ungkap seorang pimpinan lembaga saat memimpin rapat. Kalimat itu diucapkan persis setelah berliau mengucapkan “harusnya tidak perlu ada kementerian kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. harusnya cukup satu kementerian saja yang mengurus itu semua.“. Cara pandang ini menjadi menarik, disaat cara pikir terhadap kekayaan alam mulah bergeser, dari sekedar memandang kekayaan alam sebagai sumberdaya, yang selalu dieksploitasi dan diekstraksi, menjadi sebuah kekayaan alam yang dipandang sebagai kekayaan yang harus dikelola, dan tak sekedar digunakan dan dihabiskan.

Ini rahasia ! Apa lagi yang perlu dirahasiakan hari ini? Di saat dinding sudah menjadi alat pendengar yang lebih baik dibandingkan sekedar telinga. Bahkan ketika gagasan tersebut adalah sebuah kemajuan pemikiran, lalu mengapa harus menjadi rahasia? Entahlah. Sistem politik hari ini masih mengharuskan rahasia sebagai sebuah kata kunci. Kepemimpinan sebagai sebuah kekuasaan, menjadikan kelahiran ketakutan-ketakutan akan kehilangan pijakan dan pegangan agar tetap bergantung. Pun ketika, sebenarnya kepemimpinan yang lebih benar akan lebih menjamin keberlanjutan pinjakan dan gantungan tersebut.

Cara kelola kekayaan alam sudah harus benar-benar dipergeserkan. Terlalu tinggi kegelisahan dan kecemasan warga negeri ini terhadap bencana yang terus-menerus berdampingan dalam hidupnya setiap hari. Bila terus dilanjutkan dengan moda yang sama, maka harapan kehidupan akan semakin menipis. Lalu, apakah dengan meletakkan cara pandang yang benar maka kemerosotan kesejahteraan akan terjadi? Apakah pelayan publik akan semakin miskin? Apakah pemimpin menjadi kehilangan kemewahannya? Sepertinya tidak. Karena dalam sebuah sistem yang lebih tepat, justru akan meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan kolektif.

mungkin karena ini rahasia, jadi cukuplah disini dulu !



Artikel ini dapat dikutip ataupun diperbanyak dengan tetap menyebutkan sumbernya :


Ade Fadli. 2014. ini rahasia !. http://timpakul.web.id/?p=3598 (dikutip tanggal 3 September 2014)



-- timpakul.web.id - @timpakul





    

28.8.14

kebungulan politikus

celoteh "kebungulan politikus", selengkapnya di http://timpakul.web.id/?p=3592 .

bungul sepertinya berhasil menjadi trending topic. ketika seorang yang sedang berkuliah pasca sarjana di sebuah kampus di Jogja, dengan sukses membangkitkan amarah semu netizen kota tersebut. sebuah celoteh singkat, berujung pada trending topic.

saya mau aja, tapi nggak punya modal. kalo ada yang mau jadi wakil dan punya modal, saya siap aja” begitulah kira-kira ujar seorang anggota legislatif kota ini, ketika ditanyakan kesiapannya beralih ke kemudi eksekutif. duit, modal, uang, dana, dan segalah hal yang berkaitannya, seolah telah menjadi pendorong utama bagi sebuah kemenangan politik. ya, disaat demokrasi bersih dan damai didengungkan melalui sebuah keabal-abalan, maka menjadi benar bahwa politik, kekuasaan, dan sekitarnya, sekiranya masih memerlukan modal yang tak sedikit.

lalu, mengapa masih ada orang-orang bungul yang meyakini bahwa jalur non-partai masih bisa menjadi pilihan. pun lagi tak memiliki modal yang cukup untuk bersaing dengan pemilik lubang-lubang tambang itu?

lalu, mengapa masih terlalu sering kebungulan-kebungulan itu mengkolektif dan terus berkeinginan berada di kekuasaan, padahal terkadang honor bulan ini belum ditransfer oleh para donor?

lalu, apa?

kebungulan-kebungulan yang telah menjadi trending topic harus pula dipelihara. seperti seorang pekerja organisasi non profit berlabel kepemiluan yang seolah-olah demoratis, yang terus menyatakan bahwa ini adalah blog yang goblog. tak apa. karena kebungulan kolektif akan menemukan momentumnya.

politikus yang bungul, marilah untuk melanjutkan kebungulan hari ini. teruslah bermimpi ada yang dengan serta merta mengirimkan peti-peti emas di dalam sebutir labu raksasa. pun teruslah berharap ada yang melamarmu hingga puluhan juta ataupun puluhan miliar, hingga kau pun terpukau lalu mati perlahan. teruslah bungul, karena kebungulan itu sangat membahagiakan. bagimu.

sistem demokrasi yang hari ini dipraktekkan, sebagai buah dari dorongan negara yang katanya demokratis. selembar proposal, bertukar dengan pertemuan di hotel-hotel berbintang. hingga layar kaca menjadi sebuah kebanggaan. demokrasi, apa itu? ketika sistem perpolitikan hari ini masih terus menggaungkan kekayaan sebagai prasyarat pertama. kekuasaan milik rakyat, mungkin masih sekedar keabal-abalan. teruslah membungulkan. karena kebungulan itu menyenangkan. #huray



Artikel ini dapat dikutip ataupun diperbanyak dengan tetap menyebutkan sumbernya :


Ade Fadli. 2014. kebungulan politikus. http://timpakul.web.id/?p=3592 (dikutip tanggal 28 August 2014)



-- timpakul.web.id - @timpakul





    

16.8.14

Kebungulan Hijau

celoteh "Kebungulan Hijau ", selengkapnya di http://timpakul.web.id/?p=3584 .

“Untuk menggugah semangat warga Prevab, dilakukan penanaman 100 bibit Pohon Trembesi. Bibit tersebut disebar di sejumlah kawasan yang dianggap masih gersang dan perlu penghijauan. (Sapos, 16/08)”

Kebungulan hijau itu sepertinya sudah menjadi kebungulan yang menular. Mulai dari cara pandang yang bungul dari para pekerja LSM berlabelkan lingkungan, hingga pada aksi-aksi hijau, yang terkadang hanya berbaju hijau ataupun berspanduk berwarna hijau. Terlalu kerap menyaksikannya, tapi mau berbuat apa?

Biopori, polder, tanam-menanam, daur ulang, minyak plastik, pelestari satwa, hingga kaltim green yes yes yes yes yes !!

Ilmu bumi telah menjadi ilmu televisi. Hanya sekedar mengetahui permukaan, lalu kemudian mencoba mereplikasikannya. Tanpa pernah mau memanfaatkan google lebih dalam, ataupun sekedar bertanya kepada yang mungkin lebih mengetahuinya.

kenapa menanam padi sawah di puncak gunung kering ini?” tanyaku waktu itu pada seorang siswa di sekolah yang mengadiwiyata.

Kemampuan meniru dan budaya instanisme, telah menjadikan otak diistirahatkan untuk berpikir, telinga ditulikan dari mendengar, mata dibutakan dari melihat, hidung dibuntukan dari mencium, hingga kulit dimatirasakan dari sekedar merasakan sentuhan.

Proses belajar yang tak membelajarkan, telah dengan serta merta membuat kerja-kerja otak menarik kesimpulan dengan sangat cepat, dan tanpa informasi yang cukup, apalagi data yang baik. Asumsi yang digunakan hanyalah, bila disana bisa, mengapa disini tidak. Dengan cara dan metode yang sama, lalu proses kloning diberlakukan. Hasilnya? entahlah…

Kebungulan hijau ini adalah penyakit menular. Tak ada obatnya, karena hanya tergiur dengan narsisisme fana. Lalu kemudian, bertaburanlah wajah para pahlawan, yang selalu berharap memperoleh penghargaan dan pujian, bahwa telah sangat luar biasa yang dilakukannya. Lalu kemudian, menghancurkan dan memutuskan rantai kehidupan yang telah tenteram. Mungkin sudah saatnya ada Rumah Sakit khusus menanggulangi Ketergantungan pada Kebungulan ! Merdekalah?



Artikel ini dapat dikutip ataupun diperbanyak dengan tetap menyebutkan sumbernya :


Ade Fadli. 2014. Kebungulan Hijau. http://timpakul.web.id/?p=3584 (dikutip tanggal 16 August 2014)



-- timpakul.web.id - @timpakul





    

7.8.14

disconnectedness democracy

celoteh "disconnectedness democracy", selengkapnya di http://timpakul.web.id/?p=3578 .

ntar klo udah di laantik baru kita baca2“, begitulah ungkapan seorang Anggota DPRD Kaltim 2014-2019 terpilih, ketika ditanya tentang misi pemerintah provinsi Kalimantan Timur dalam rencana pembangunannya. Sebuah dokumen yang prosesnya cukup terbuka dan tersaji di laman instansi pengelolanya. Mau bilang miris ya agak sulit juga, karena memang inilah hasil terbaik yang ada dari proses demokrasi yang berlangsung di negeri ini. Pendidikan politik yang instan, struktur partai yang berorientasi pekerjaan, hingga pada pelaksanaan pemilihan anggota legislatif dan pemimpin eksekutif yang tidak linier, yang masih berjalan. Lalu, perubahan apa yang diharapkan?

Lalu, dalam sebuah tayangan televisi, menyajikan Diam bukan Pilihan. dimana beragam pilihan tindak mendorong perubahan disajikan. Mulai dari bergeraknya musisi hingga pemimpin tertinggi perusahaan. Sebuah episode yang menyajikan bagaimana kemudian kelompok yang telah mapan mulai membangun kegelisahan personalnya. Bergerak, lebih baik daripada diam, untuk kemudian mendulang efek pantul yang beragam. Tak bicara benefit, yang pastinya akan didapat pasca bergerak-gerak.

Mungkin tak terlalu banyak lagi yang pernah membaca sebuah buku sederhana, berlabelkan mengubah kebijakan publik, yang pernah hadir dengan beragam isinya. Mungkin karena saat ini peradaban 2.0, yang enggan bergerak ke 2.5 hingga 3.0, dan sangat sukar mendapatkan eBooknya, sehingga tak lagi ada yang punya cukup waktu membacanya. Walaupun juga ada beragam bacaan lain, yang tentunya tak terlalu lengkap sebagai bagian penggantinya, namun cukup untuk mengisi kekosongan itu. Setidaknya, kesadaran bahwa ada pentahapan sebelum mendorong pengubahan, menjadi bagian yang harus diletakkan pada inti isi kepala, ketika menginginkan sebuah kebaikan itu berwujud.

Bagan Advokasi

Bagan Advokasi

Lalu kemudian, kelahiran aktor-aktor pengubahan yang difasilitasi oleh media mainstream, telah pula mendorong banyak sekali tumbuhnya aktor-aktor baru, yang tentunya sangat luar biasa. Namun, siapa pemegang tongkat orkestrasinya? Entahlah, setiap molekul bergerak, seolah tanpa kendali, yang bak tangan tak terlihat mengendalikannya. Lalu, apakah pengubahan berlangsung? Ya, untuk sebuah harapan jangka sesaat, sedangkan akar yang terus melahirkan beragam situasi kekisruhan hari ini, masih akan menumbuhkan kondisi-kondisi yang kembali membutuhkan pengubahan.

Alergi politik, advokasi yang sekedar kampanye, keriuhan linimassa demi trending topic, hingga pada ketergantungan pada seleb media (mainstream dan non-). Ada banyak ruang yang masih menjadi bagian yang harus mengubahkan pula. Pun pada semakin sedikitnya kerja otak yang digunakan untuk menstrukturkan arah pikir, menuliskan, atau sekedar mendokumentasikannya. 140 karakter dan ads, telah sangat berhasil melahirkan instantisme sebagai sebuah ideologi baru.

Kelahiran warga negara baru, para netizens, terlihat sebuah harapan terhadap sebuah proses pengubahan. Ya, pada titik terkecil, namun tak akan menjadi sebuah kesepakatan kolektif untuk membangun sebuah peradaban madani. Secara default, sistem peradaban politik akan kembali menemukan titik lentingnya. Demokratis yang dikerucutkan pada proses-proses pemilihan anggota parlemen dan pemimpin eksekutif semata, lalu kemudian menjadikan ruang kuasa tetap pada kelompok yang tak terlalu berharap kenyamanannya menjadi hilang. Masih butuh waktu dan kesabaran untuk menemukan sebuah titik harapan sebenarnya. Pengubahan, masih sekadar perbincangan di linimassa, sementara proses pendorong utamanya, berlangsung di warung kopi. Yukz ngopi !



Artikel ini dapat dikutip ataupun diperbanyak dengan tetap menyebutkan sumbernya :


Ade Fadli. 2014. disconnectedness democracy. http://timpakul.web.id/?p=3578 (dikutip tanggal 7 August 2014)



-- timpakul.web.id - @timpakul





    

Mengenai Saya

Foto saya
hidup di sebuah kota kecil di tepian sungai mahakam merupakan hal yang membahagiakan... walau tak lagi banyak pepohonan, rawa dan hutan kota.... saat ini menapaki kehidupan dengan belajar pada alam dan berbagi pada sesama.... blog utama: http://timpakul.web.id